Widget HTML Atas

Talijiwo pdf Karya Sujiwo Tejo

Hasil gambar untuk buku talijiwo


Buku ini berisi kumpulan 35 cerita pendek yang terbagi menjadi lima bagian dan sebuah cerita atau mungkin bisa disebut prolog di luar lima bagian tersebut. Secara garis besar, buku ini bercerita tentang fenomena-fenomena yang terjadi di dalam kehidupan dua tokoh bernama Sastro dan Jendro, yang bisa berperan menjadi apa saja pada masing-masing cerita. 

Kadang sebagai teman di salah satu cerita, sepasang kekasih di cerita lainnya, sepasang suami istri, guru dan murid, ibu dan anak, kakek dan cucu, atau tetangga. 

Fenomena-fenomena yang diangkat di dalam cerita pun umumnya mengacu pada kejadian nyata di sekitar kita. Beberapa cerita bahkan secara eksplisit dikaitkan dengan isu/kejadian yang sedang terjadi di Indonesia, khususnya sosial budaya dan politik. 

Dalam setiap cerita selalu diselipkan #Talijiwo, yang merupakan quotes/renungan untuk menanggapi fenomena yang sedang diangkat. Satu yang menarik dari selipan quotes ini adalah gaya penuturannya yang romantis, seolah ditujukan untuk seorang kekasih. 

Bagi yang belum membaca bukunya, ketika menjumpai beberapa kutipan quotes dari buku ini di berbagai unggahan media sosial pasti akan mengira buku ini adalah roman percintaan yang romantis. Padahal tidak demikian. Buku ini lebih sebagai refleksi dan/atau perenungan atas kejadian-kejadian di negeri ini.

Berikut beberapa contoh quotes di dalam buku ini yang pasti akan membuat pembaca jatuh hati:

“Lebih sunyi daripada kepak sayap capung di tanah rantau, Kekasih, rinduku padamu mengembara ke bintang-bintang.” (Arus Rantau, hlm. 23)

“Senja kukenang pada keningmu, Kekasih. Kala kau rebah di antara tangis dan cakrawala.” (Sadap, hlm. 79)

“Segunung apa pun diamku merenung, tak mungkin aku sampai pada pemahaman mengapa aku mencintaimu, Kekasih…” (Tongkol, hlm. 102)

“Di dalam kita menjulang pohon, Kekasih, yang berakar padamu berkembang padaku, lalu orang-orang yang memberhalakan bahasa kata menyebutnya cinta…” (Kidung, hlm. 165)

“Bumi itu bulat, Kekasih. Yang datar adalah jalan menuju rumahmu. Namun aku masih saja tersandung rasa…” (Bangkai Kadaluwarsa, hlm. 170)

Selain karena selipan quotes-nya yang indah, penuturan cerita yang sebagian besar berupa dialog menjadikan pesan tersirat dalam setiap cerita menjadi lebih mudah dipahami pembaca. 

Analogi-analogi yang dipakai di dalam cerita juga sangat ‘pas’ dengan isu/fenomena yang diangkat. Bahkan dengan membaca cerita-cerita dalam buku ini, pembaca dapat melihat dan merenungi isu/fenomena tersebut melalui sudut pandang lain, yang disajikan oleh penulis.

Kekurangan buku ini secara konten rasanya hampir tidak ada. Ide cerita dan pesan yang ingin disampaikan benar-benar mengena meskipun ringan. Penyajiannya pun tidak mengesampingkan unsur estetika. 

Buku ini dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi hitam putih untuk memperkuat isi. Tata letak tulisan, khususnya quotes juga diperhatikan dengan baik. Hanya saja, ada beberapa kesalahan penulisan nama tokoh, terbalik antara Sastro dan Jendro. 

Yang mulanya Jendro sebagai seorang guru/dosen dan Sastro sebagai mahasiswa, pada paragraf selanjutnya masih dalam satu cerita menjadi terbalik Sastro sebagai guru/dosen, sedangkan Jendro menjadi mahasiswa.

Terlepas dari kesalahan penulisan tersebut, cerita-cerita dalam buku ini tetap menarik untuk dibaca sambil merenungkan isu/fenomena di sekitar kita. Tentu saja sambil menuliskan #Talijiwo yang mungkin muncul melalui perenungan-perenungan saat membaca.

Maka, waktu luang itu jangan dimampatkan lagi dengan melulu main gadget. Berbincanglah bersamaku. Duduklah di sampingku dan buka ruang imajinasimu. Bersama-sama kita akan larut dalam suara-suara Talijiwo. Mungkin kau akan semakin gelisah, marah, atau justru lupa pada beban dunia. Mari bersama-sama merdeka. Meski kita tetap tak bisa merdeka dari kenangan. (Sujiwo Tejo).