Widget HTML Atas

Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia pdf Karya Yoseph Tugio Taher

Sinopsis Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia
Download Ebook Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia pdf Karya Yoseph Tugio Taher

Buku ini pada dasarnya mengulas tentang kondisi Indonesia sesudah merdeka. Di dalam buku ini juga disebutkan beberapa hal menarik dalam menjelentrehkan watak orang-orang penting di Indonesia yang terlibat dalam gejolak pasca kemerdekaan. 

Pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, terdapat beberapa problema mengenai kedaulatan Indonesia. Kedaulatan ternyata tidak mutlak dimiliki secara langsung setelah Indonesia merdeka. 

Diantaranya ialah penyerangan secara diplomatis oleh Belanda. Secara tidak langsung Belanda masih belum rela melihat Indonesia merdeka. Beberapa cara dilakukan untuk merebut wilayah Indonesia kembali yaitu dengan membuat beberapa perjanjian yang isinya ialah bermaksud untuk menguasai beberapa wilayah Indonesia. 

Seperti halnya perjanjian Linggarjati dan Renvile yang isinya ialah mempersempit wilayah kedaulatan Indonesia sehingga sebagian besar wilayah Indonesia dikuasai oleh pihak Belanda. Selanjutnya Indonesia dipengaruhi oleh perang dingin yang dilakukan negara barat dan akibatnya tercipta paham kapitalis dan sosialis di Indonesia.

Indonesia menjadi negara yang terbelah dua yaitu berpihak pada paham kapitalis dan paham sosialis yang selanjutnya terbawa ke dalam paham komunis.

Mengingat bahwa umur kemerdekaan Indonesia yang masih sangat muda, keamanan negara belum terjaga dengan ketat sehingga menjadi sebuah peluang bagi negara lain untuk menggoyahkan kekuatan persatuannya dalam membentuk negara yang merdeka. 

Terdapat beberapa peristiwa tragis yang menyelimuti hari-hari bangsa Indonesia dalam menikmati kemerdekaannya. Adapun gejolak peristiwa itu ialah atas pengaruh komunis yang sedang berkembang di Indonesia. 

Penggulingan kekuasaan atas pemerintahan telah menjadi pemicu utama dalam segala pemberontakan dan kudeta yang digencarkan oleh kaum komunis. Diantaranya ialah peristiwa Peristiwa 3 Juli 1946, Rasionalisasi Hatta, Peristiwa Madiun, Gejolak dalam Penolakan Rera KMB,  Serangan Umum 1 Maret 1949, Aksi G 30 S dan sebagainya. 

Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan penuh dengan kontroversi. Secara umum pemberontakan terhadap pendudukan Belanda di beberapa wilayah Indonesia dipicu oleh sifat kepatriotisme bangsa Indonesia. Namun sifat patriotisme tersebut memperlihatkan beberapa kontroversi pada Jenderal Soeharto khususnya.

Jenderal Soeharto seakan-akan menjadi seorang perwira TNI yang menjalankan tugasnya dengan baik dan sewajarnya. Namun sebaliknya bahwa Jenderal Soeharto diduga menjadi dalang pemberontakan dan gejolak yang penuh dengan sandiwara dan adu domba. 

Beliau seolah-olah menjadi seorang yang sangat berjasa dalam menyerang pemerintah Belanda dan menyusun rencana strategis untuk menggencarkan politik pemerintahan Indonesia. Dibalik rencana tersebut Jenderal Soeharto ingin menggulingkan kekuasaan pemerintahan Indonesia atas kepentingan dirinya. 

Politik adu domba digencarkan dalam hal membela dirinya sebagai perwira yang tangguh dan bekerja dengan baik. Beliau melakukan segala cara yang dapat mempertahankan jabatannya dan untuk meninggikan kepercayaan rakyat terhadap dirinya. Sebagai contoh bahwa Jenderal Soeharto mempunyai sifat yang salah demi jabatan ialah dapat terlihat pada salah satu peristiwa 3 Juli 1946.

Pada peristiwa tersebut Ketua Pemuda Pathuk yaitu Sundjojo yang membawa surat perintah dari Presiden Panglima Tertinggi APRI Soekarno yang isinya ialah agar Letkol Soeharto menangkap Mayjen Soedarsono, yaitu seorang Komandan Divisi III APRI karena dituduh turut ikut melakukan kudeta terhadap Soekarno. 

Pada kondisi ini  Soeharto merasa bimbang karena Mayjen Soedarsono merupakan atasannya begitu pun juga Soekarno juga seorang pemimpinnya yang harus dipatuhi dan jika tidak dipatuhi beliau takut kehilangan jabatannya sebagai Letnan Kolonel itu. 

Kemudian Soeharto memiliki ide bahwa beliau meminta agar Sundjojo mengembalikan surat perintah penangkapan Soedarsono dengan menukarkan tugas agar perintah diberikan melalui Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Namun permintaan Soeharto tersebut membuat Soekarno marah dan untuk mengantisipasi keadaannya, Soeharto segera melakukan penangkapan terhadap Soedarsono dengan tipu daya mengatakan kepada Soedarsono bahwa ada orang yang ingin menculiknya. Soeharto meminta agar Soedarsono pindah ke Resimen III Wiyoro. 

Padahal sesungguhnya Soeharto sendiri yang diperintah untuk menangkap Soedarsono. Dan Soeharto segera memberitahu pihak istana untuk segera menangkap Soedarsono di Markas Resimen Wiyor. 

Kemudian setelah kudeta dilaksanakan, Soeharto segera ikut menangkap para pelaku lainnya untuk menciptakan sebuah pandangan masyarakat bahwa beliau seorang pahlawan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ide Soeharto ini merupakan ide yang sangat cerdik demi mempertahankan kewenangannya beliau melaksanakan perintah kedua pemimpinnya dengan cara berbohong tanpa dibenci oleh mereka.

Beberapa peristiwa pemberontakan dalam pemerintahan Indonesia tidak lain adalah terdapat pengaruh paham komunis didalamnya. Pada masa kepemimpinan Hatta sempat terdapat isu bahwa daerah Madiun akan didirikan pemerintahan Soviet-Madiun. 

Pada saat mendengar telah terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 19 September 1948, Hatta segera memerintahkan untuk menumpas orang-orang yang berada pada golongan kiri. Sehingga terdapat ribuan korban terbunuh baik golongan kiri maupun rakyat biasa. 

Padahal berita tentang pemberontakan PKI tersebut hanyalah taktik politik Amerika Serikat untuk mempengaruhi pemerintah Indonesia agar menghabiskan kaum golongan kiri (komunisme) dalam pemerintahan negara.

Hal tersebut dapat dilihat bahwa pengaruh komunisme di Indonesia pada saat itu tersebar di beberapa daerah. Banyak diantara rakyat yang tidak berdosa mengalami pertumpahan darah. PKI yang sudah berhasil masuk dalam pikiran rakyat Indonesia memanfaatkan peluang untuk menobatkan dirinya sebagai pemimpin negara yang berkuasa. 

Dalam salah satu momen pada saat Ahmad Yani naik jabatan menjadi seorang Menteri Panglima Angkatan Darat, ketika suasana genting berita kudeta kepemimpinan dan dibubarkannya partai-partai yang membangkang di Indonesia, Soekarno memberikan amanah kepada Ahmad Yani untuk menggantikannya sebagai pemimpin negara yang benar-benar cakap. 

Hal ini menimbulkan sikap dengki bagi golongan kiri yang tidak setuju atas keputusan Soekarno. Sehingga terjadi isu kudeta yang konon dilakukan oleh PKI.

Adapun kudeta yang diduga direncanakan oleh Dewan Jendral merupakan sebuah fitnah yang sangat besar. Kudeta yang diberitakan itu hanyalah sebuah rekayasa yang pada dasarnya diduga sikap kecerdikan Soeharto yang ingin menggantikan Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat. Aksi gerakan 30 September dilakukan dengan penculikan para jendral terlebih dahulu. 

Ketujuh perwira Angkatan Darat ditembak berkali-kali hingga meninggal kemudian dilemparkan ke dalam truk dan dibawa ke sumur Lubang Buaya. Menurut berita bahwa Jendral Ahmad Yani yang dimasukkan ke dalam sumur terlebih dahulu sehingga kondisi jenazahnya sangat memprihatinkan. 

Setelah penemuan jenazah berlangsung kemudian dilakukan otopsi lebih lanjut dibawah dokter senior Dr. Soetomo. Disamping itu pemberitaan oleh media massa cenderung melebih-lebihkan tentang kondisi jenazah yang diduga dianiaya sangat keji. 

Namun berdasarkan hasil visum jenazah terdapat keterangan dari dokter bahwa kondisi jenazah yang memprihatinkan bukanlah karena dianiaya melainkan karena dimasukkan ke dalam sumur yang terendam air dan sudah membusuk.

Selanjutnya kebijakan yang digencarkan ialah pembersihan PKI di Indonesia. Dibawah perintah Soeharto pembersihan PKI dilakukan di beberapa daerah termasuk dilkukan penjagaan yang ketat. Untuk memulihkan keamanan, Soekarno melayangkan surat perintah 11 Maret kepada Soeharto yang dipercaya untuk membersihkan PKI di Indonesia. 

Namun Soeharto menyalahgunakan surat perintah tersebut yang konon telah menyuruh Soekarno meninggalkan istana merdeka. Dengan begitu telah tampak keinginan Soeharto untuk memperoleh kekuasaan menjadi seorang presiden RI.