Widget HTML Atas

Kami (Bukan) Sarjana Kertas Karya JS Khairen

Kami (Bukan) Sarjana Kertas Karya JS Khairen


Sinopsis Kami (Bukan) Sarjana Kertas Karya JS KhairenReview Kami (Bukan) Sarjana Kertas Karya JS Khairen


Buku ini menceritakan tentang perjuangan beberapa mahasiswa yaitu Ogi, Randi, Juwisa, Sania, Gala, dan Arko. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda. Buku ini memaparkan bagaimana mereka melewati masa perkuliahan dengan masalah hidup yang tidak mudah.

Ogi, adalah mahasiswa jurusan Komunikasi tetapi passionnya adalah IT yang merupakan anak dari seorang tambal ban dan penjual bensin eceran. Ayah dan ibunya berjuang dengan maksimal untuk menguliahkan Ogi sampai berhutang dengan orang lain. Namun sayang, Ogi tidak memanfaatkan dengan baik. Ogi sering absen kuliah, pesta narkoba bertepatan di malam ayahnya meninggal dunia, bahkan Drop Out dari kampus karena sikapnya dan IPK yang tidak mencapai rata-rata. Semua cobaan yang dihadapinya, sampai membuat Ogi melakukan percobaan bunuh diri.
Saya kira awalnya kuliah bakalan santai aja, bu. Saya kira jurusan komunikasi tuh ngomong-ngomong doang. Saya kira temannya enak-enak… (#64).
Namun, apa yang dialaminya justru membuatnya bangkit dari keterpurukan. Bermula setelah Ogi bertemu dengan Miral dan mengikuti salah satu seleksi magang di sebuah program internasional untuk pecinta IT di Ubud. Penyelenggaranya adalah orang-orang dari Sillicon Valley di Amerika. Sehingga berhasil membawa Ogi bekerja di perusahaan Alphabeth Inc bentukan Google. Ajaib!Anak tukang tambal ban dan mahasiswa hasil DO malah bisa kerja di perusahaan kece kaya gitu.
Biarkan mereka bising dalam ketidaktahuan hingga melahirkan sebuah kira-kira. Indah sekali saat mendengar rintihan hati kecil mereka, wajah mereka yang terpana sambil berujar “kok dia bisa?” (#164).
Randi, seorang mahasiswa teladan yang selalu mendapatkan nilai bagus dalam mata kuliahnya. Namun, malah sulit dalam menyelesaikan skripsi dan mendapat nilai seadanya padahal sudah berjuang mati-matian mengolah SPSS. Bahkan setelah lulus, tidak ada perusahaan yang memanggil dirinya interview. Tapi, KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan wawancaranya dengan Nenek Anjali mengantarkannya menjadi seorang reporter yang dikenal masyarakat dalam layar kaca. Meskipun harapan menjadi pegawai di perusahaan multinasional harus terkubur. Randi bersyukur karena Nenek Anjali adalah pembuka rezekinya.

Juwisa, seorang mahasiswa Ekonomi yang sangat pintar. Bahkan berhasil membawa nama kampusnya juara dalam lomba Konsep Bisnis bersama rekannya Gala dan Arko. Sayangnya, ayah Juwisa yang hanya supir ojek online tidak sanggup lagi untuk membiayai kuliah Juwisa yang menurutnya mahal. Hingga akhirnya Juwisa ingin dinikahkan oleh pria pilihan orangtuanya di kampung. Juwisa seolah memberikan gambaran konkrit keadaan sekarang bahwa “biaya kuliah” tidak menyasar ke seluruh kaum. Untungnya Juwisa adalah mahasiswa yang berkompeten, sehingga mendapatkan beasiswa hingga lulus.

Sania, mahasiswa yang bercita-cita menjadi Diva. Merupakan anak tukang sayur, sehari-hari harus mencari uang tambahan untuk kuliahnya dengan menjadi seorang penyanyi kafe. Sayangnya, Sania sering melampiaskan pelarian ke hal-hal negatif jika sedang pusing menghadapi hidup. Sania mengonsumsi narkoba dan mabuk hingga terciduk oleh polisi. Sempat menginap di hotel prodeo dan melakukan rehabilitasi tidak membuat Sania mangkir untuk menyelesaikan kuliahnya. Dia pun lulus, meskipun telat dan bekerja di sebuah perusahaan perbankan.

Gala, adalah mahasiswa arsitektur. Saya sangat kagum dengan Gala. Diceritakan sebagai anak dari kalangan berada, ayahnya adalah pemilik perusahaan ternama dan selalu dikawal bodyguard setiap harinya tapi hanya bercita-cita sebagai guru. Perdebatan visi dan misi antara ayah dan anak memberitahu kita bahwa kondisi “cukup” pun belum tentu merealisasikan sebuah definisi bahagia. Meskipun akhirnya Gala berhasil menjadi relawan sebuah gerakan mengajar di pedalaman.

Arko, adalah mahasiswa rantauan yang memiliki passion di bidang fotografi. Hanya dengan kamera seadanya hasil menabung dari kecil sebagai kenek bus. Arko kini sudah memiliki pelanggan tetap untuk memakai jasa fotografinya dan karya lainnya sering disajikan dalam pameran.

Buku ini seolah menjadi evaluasi bagi semua pihak. Bahwa pendidikan adalah pertolongan bersama. Tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak. Namun, saya tahu betul. Kampus yang baik, memang akan selalu mengantarkan kalian ke tempat yang baik. Minimalnya, lebih dihargai perusahaan. Bersyukurlah kalian yang sudah mendapatkannya. Bagi yang belum, seperti saya. Bersyukur dan buktikanlah juga, sebab ada kemampuan yang bisa kita “jual” kepada perusahaan.

Kita kerap mendikte Sang Mahapasti dengan doa-doa ajaib. Meminta yang tak kita butuhkan, mengharap lebih dari yang diperlukan. Padahal kita tahu, Dia adalah penulis skenario terbaik. Yang selalu memberi pas takaran. (#266).