Pengelolaan Konflik di Indonesia
Ketika Presiden Soeharto jatuh dari kekuasaannya pada 1998 setelah 32 tahun pemerintahan otoriter, hal ini menandai dimulainya baik transisi demokrasi Indonesia maupun letusan konflik kekerasan internal yang membara di seluruh negeri. Pergolakan separatis meningkat di seluruh Aceh, Papua dan Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Pada periode 1998 sampai 2003 (di mana sebagian besar konflik komunal diselesaikan) kekerasan ini diperkirakan telah membuat lebih dari satu juta orang mengungsi dan menyebabkan hilangnya ribuan nyawa. Konflik komunal pasca-Soeharto menghasilkan 1,3 juta pengungsi.
Transisi demokrasi Indonesia yang dramatis juga berdampak terhadap cara konflik dikelola. Selama era Orde Baru konflik tersebut ditekan secara sitematis dan tidak dipublikasikan karena takut hal itu akan memicu sentimen ‘etnis, agama, dan ras di antara kelompok-kelompok’, biasanya disingkat SARA (kependekan dari suku, agama, ras, antar golongan).
Tentu saja, kebijakan inilah yang disalahkan atas pecahnya konflik kekerasan komunal dalam era pasca-Soeharto.
Pengganti Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, memulai proses desentralisasi kekuasaan dari Jakarta dan mengurangi luasnya jangkauan militer ke dalam kehidupan politik dan ekonomi. Transisi politik ini mengubah hubungan antara negara dan masyarakat dan menawarkan baik tantangan maupun kesempatan bagi pencipta perdamaian.
Perubahan yang besar terjadi di seluruh Indonesia, dari meningkatnya peran masyarakat sipil dalam penciptaan perdamaian sampai perubahan hubungan antara militer dan kepolisian. Kecenderungan di atas berinteraksi dengan masalah yang bermunculan di daerah lalu menghasilkan sebuah latar belakang konflik yang kompleks dan hingga kini masih belum dapat dipahami dengan baik.